Selasa, 01 Maret 2011

Writing SuperCamp FLP 2011



Writing SuperCamp adalah format baru dari OPEN REKRUITMENT Forum Lingkar Pena yang dilaksanakan serentak di Kota Semarang. Kegiatan ini telah berlangsung dari tahun 2008 dengan mendatangkan trainer-trainer tingkat nasional disetiap tahunnya.

Pada awal tahun 2008 anggota FLP sudah tersebar keseluruh Kota Semarang dan dikonsentrasikan diempat Ranting yang merupakan simpul masa dari Mahasiswa perguruan tinggi yang mengisi kouta sebagian besar anggota FLP Cabang Semarang. Keempat Ranting itu adalah, Tembalang, Sekarang, Pleburan dan Ngaliyan. Berawal dari keprihatinan akan adanya ketimpangan materi kepenulisan ditiap-tiap ranting jika OPREK diadakan secara terpisah, maka dirumuskanlah format baru acara Writing SuperCamp ini.

Tujuan dari diadakannya Writing SuperCamp ini adalah untuk memberikan materi ke-FLP-an dan dasar kepenulisan yang sama dan merata keluruh Ranting FLP di Semarang. Event ini juga akan mempererat tali ukhuwah antar anggota dan calon anggota FLP seSemarang yang selama ini terpisah oleh jarak.

Writing Supercamp ini akan dilaksanakan intensif selama 2 hari pada tanggal 12 dan 13 Maret 2011, pukul 13.00WIB s/d selesai, bertempat di KAMPUS HIJAU BINA INSANI, Sumur Boto - Banyumanik.



Trainer:

1. AGUS M. IRKHAM

* Editor paruh waktu, Instruktur Literasi Forum Indonesia Membaca.

* Eksponen Komunitas Pasar Buku Indonesia.


2. IMAM MARDJUKI

* Redaktur Senior Suara Merdeka.

* Pegiat politik pada Komunitas Wacana Analisis dan Jurnalisme Empatik (Wedang Jahe).


Apa yang anda dapatkan setelah Writing SuperCamp ini?

- Strategi menulis novel, essay, cerpen dalam 1 jam bahkan kurang

- Rahasia menembus berbagai Penerbit dan Media lokal maupun nasional terkemuka.

- Cara membangun Mindset Sukses dan memotivasi diri untuk produktif dan berdaya saing global

- Sebagai syarat Anggota FLP Cab Semarang 2011




KUOTA TERBATAS!!,

segera hubungi ranting terdekat:


Tembalang

0817 4546 39


Pleburan

0857 2746 5079


Ngaliyan

0856 4364 5291


Sekaran

0857 4020 8424


Info lengkapnya kunjungi halaman facebook : writing supercamp flp

http://www.facebook.com/pages/Writing-SuperCamp-FLP/141402295924283


pamflet:

http://www.facebook.com/photo.php?fbid=196489203708211&set=a.196489060374892.49214.100000413991773


denah lokasi:

http://www.facebook.com/photo.php?fbid=145359188861927&set=a.145359168861929.30709.141402295924283

Kamis, 02 Desember 2010

Lihatlah, Aku Seorang Muslim

Seolah kupu-kupu yang bertebaran itu ingin ikut bersujud bersama mereka yang sedang khusyuk larut dalam pangkuan Rabnya. Mengepakkan sayap secara perlahan lalu berpindah dari bunga satu ke bunga lainnya. Indah sekali rasanya. Hanyut dalam kedamaian, lalu terdiam mendengar semilir lantunan adzan sang muadzin.

Aku tetap duduk di serambi masjid kampus. Panas sekali udara siang ini. Sambil menunggu beberapa teman yang masih mensucikan diri dengan wudhu, aku sengaja untuk mendengarkan indahnya “nyanyian” dari Tuhanku. Subhanallah..


Rupanya memori otakku sedikit berputar, mengingatkanku akan sebuah cerita tentang teman seperjuanganku sewaktu aku nyantri di salah satu pondok pesantren modern di kota Solo. Aku tersenyum mengingat semua pengakuannya saat itu.


“Aku beruntung mendapat hidayah ini” Katanya.


Teresia. Ia adalah sosok gadis remaja yang telah memberiku banyak inspirasi. Terlebih setelah aku membaca sebuah buku karya Salim A. Fillah, yang berjudul “Saksikan Bahwa Aku Seorang Muslim” terbitan Pro-U Media. Aku semakin tersindir, betapa besar dan kuat perjuangan sahabat-sahabat nabi dan orang-orang terdahulu yang gigih mempertahankan keimanannya sebagai seorang muslim walaupun harus menerima cambukan dan siksaan keji lainnya. Perjalanan hidup sahabatku, Teresia, pun tak akan pernah aku lupakan. Aku masih ingat bagaimana ia berkisah padaku sore itu, ketika kami duduk berdua di lapangan basket di pondok pesantren kami. Baiklah, sambil menunggu mereka mengambil air wudhu, akan kuceritakan sedikit tentang pelajaran berharga yang terus menerus menggelitik hatiku ini.

***


Kisah Teresia, 20 tahun.


Sejak kecil, aku telah dipersiapkan untuk mengikuti jejak kedua orang tuaku, sebagai tokoh dan pemuka agama Kristen di Bandung. Pendeta lebih tepatnya. Setiap hari aku mempelajari Injil, bergabung dalam kegiatan-kegiatan keagamaan, dan tak pernah absen untuk sembahyang ke Gereja. Aku dibesarkan dalam keluarga yang bisa dibilang serba tercukupi. Apapun yang kuinginkan bisa kudapat dengan sangat mudah. Dan satu yang sangat aku banggakan saat itu, kami adalah keluarga yang taat pada ajaran kepercayaan kami.


Sampai suatu hari, saat bundaku merapikan perpustakaan rumah, beliau mendapati selembar kertas yang menyatakan bahwa ternyata ayahku telah memeluk Islam. Aku dan bundaku marah, mengingat posisi mereka adalah sebagai tokoh penting dalam lingkungan kepercayaan kami.


Pertengkaran tak dapat dihindari. Aku hanya berperan sebagai penonton. Aku tak bisa berargumen, bingung, dan entahlah. Yang aku tau, setelah perselisihan itu ayahku memutuskan untuk mengasingkan diri di daerah Sumatra. Ya, itu lebih baik untuk kenyamanan beliau. Kami berpisah kurang lebih selama empat tahun.


Ternyata, selama empat tahun itu pula secara diam-diam bundaku memperlajari Al-Qur’anul Karim. Sedikit demi sedikit aku diajak untuk mendiskusikan dan mengkaji kitab suci yang telah mengubah pemikiran ayah. Mungkin beliau penasaran dan bertanya-tanya mengapa ayahku, sosok yang sangat taat itu, bisa meninggalkan kepercayaan yang telah ia anut dari kecil.


Subhanallah wal hamdulillah, pada tahun 1999 hidayah itu pun akhirnya datang pada bundaku, aku, dan kedua adikku yang saat itu masih kecil-kecil. Dengan menitikkan air mata, kami segera menghubungi ayah. Saat itu juga ayah pulang menemui kami. Satu hal yang tak bisa aku lupakan, kami berikrar dengan syahadat sebagai muslim.

Asyhadu an-la ilaha illallah, wa asyhadu anna muhammadarrasulullah..

“Lihatlah, aku seorang muslim.” Hatiku bergetar mendengar pengakuanku sendiri.


Ternyata tak semudah yang aku bayangkan. Beberapa hari setelah kami berikrar, kami harus meninggalkan rumah beserta semua fasilitas lengkap yang setiap hari kami dapatkan. Itulah konsekuensinya, karena semua itu kami dapat dari penghasilan orang tuaku sebagai pendeta. Saat berkunjung kerumah nenek, aku pun diusir. Ah, semakin berat rasanya. Ternyata kami juga dikucilkan. Tetapi sepertinya tak masalah untuk ayah dan bundaku. Dalam keadaan kekurangan seperti ini, mereka tetap mengembalikan semua gaji yang telah didapat sebagai pendeta.


Apakah manusia mengira mereka akan dibiarkan saja setelah mengatakan, “Kami telah beriman”, padahal mereka belum diuji? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (Al ‘Ankabut 2-3)


Akhirnya, kami memutuskan untuk hijrah ke Jogjakarta karena pertimbangan disana biaya hidup relatif lebih murah. Rumah baru kami sangat berbeda. Bahkan sangat kecil untuk dihuni lima orang. Jika hujan turun, bisa dipastikan lantai kami adalah genangan air. Lalu saat itu juga ayah membuat semacam ayunan dari kain-kain untuk tempat tidur kami. Untuk menambah penghasilan, ayah mengumpulkan koran-koran bekas, menggunting artikel-artikel penting yang kemudian dijadikan kumpulan kliping untuk dijual. Kami makan dengan nasi dan lauk seadanya. Alhamdulillah, dengan itu semua kami juga mulai belajar menjalankan puasa.


Bujuk rayu baik dari pihak keluarga ayah maupun keluarga bunda datang silih berganti. Aku diajak untuk kembali pada kepercayaan yang telah aku tinggalkan. Mereka mengingatkan akan semua fasilitas yang bisa aku dapat jika aku mengikuti mereka. Mulai dari rumah, belajar di sekolah milik keluarga, beasiswa keagaman untuk kuliah di Jerman beserta fasilitas lainnya. Aku sempat berfikir ulang. Rupanya hatiku masih rapuh, belum sekuat kedua orang tuaku yang selalu menghibur dan menguatkanku untuk bertahan.


Aku dan adikku belajar di sekolah yang tak jauh dari rumah. Sebenarnya aku ingin masuk di sekolah Islam favorit agar aku bisa belajar banyak tentang agama. Aku ingin menguatkan hati. Tetapi, melihat keadaan kami yang seadanya itu, membuatku bisa menerima. Aku hanya bisa berangan-angan dari luar, karena setiap pagi aku mengayuh sepeda melewati sekolah yang aku inginkan tersebut.


Ayah pernah membacakan salah satu arti dari ayat Al-Quran, “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka sesungguhnya Aku ini dekat. Aku menjawab permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepadaku (Al-Baqarah: 186)”


Aku semakin mantap dengan keputusan untuk memeluk Islam. Karena beberapa hari kemudian, ketika aku sedang duduk berdua dengan adikku di taman kota, tiba-tiba seorang laki-laki separuh baya menghampiri kami. Setelah berbincang-bincang, beliau menawari beasiswa untuk belajar di salah satu sekolah Islam favorit di Jogjakarta. Aku mulai belajar sholat dengan benar, membaca Al-Quran, dan ajaran-ajaran Islam yang sama sekali belum ku ketahui. Sekarang aku merasa hidupku damai. Bahkan sangat damai. Kehidupan ekonomi kami mulai membaik setelah ayah diterima sebagai dosen di salah satu universitas swasta di Jogjakarta. Kami memutuskan untuk mencari rumah yang lebih layak. Tapi ternyata kami dihadapkan oleh berbagai masalah yang agak membahayakan.


Saat itu, ayah sedang bertugas di Jakarta. Aku dan bundaku sedang berada di dapur ketika pintu depan tiba-tiba diketuk oleh delapan laki-laki asing.


“Permisi” Sapa salah satu laki-laki yang berdiri tegap di depan rumah.


Awalnya mereka mengaku sebagai teman-teman ayah yang ingin menjemput untuk pergi ke Jakarta. Tetapi kami merasa aneh, karena ayah sudah berada di Jakarta selama empat hari.


Rupanya kecurigaan kami terbukti bahwa mereka datang bukan dengan niat baik. Saat itu juga aku mengambil botol-botol kaca di dapur setelah menyadari bahwa mereka bersenjata. Ternyata orang-orang itu adalah teman-teman ayah, dulu sebelum kami memeluk Islam. Entahlah, hanya satu yang aku tau saat itu, mereka menginginkan kami untuk kembali. Bundaku menyembunyikan kedua adikku. Tapi tanpa sepengetahuanku, adikku yang paling besar berdiri di belakangku lengkap dengan memakai helm dan tongkat kayu seperti ingin berperang. Ah, sebenarnya aku ingin tertawa melihat tingkahnya.


Kami keluar. Dengan suara lantang, bundaku meminta agar mereka pergi kerena ayah sedang tidak ada di rumah. Tapi mereka tak percaya dan menuduh kami menyembunyikan ayah. Tanpa berpikir panjang, aku lempar botol-botol itu. Adikku mengikuti dari belakang dengan menggunakan tongkatnya. Beberapa dari mereka berteriak ingin menghentikan kami. Alhamdulillah, tak lama kemudian polisi pun datang.


Tak hanya satu kali kami merasa dicari orang-orang seperti itu. Maka kami memutuskan untuk mencari tempat tinggal yang lebih aman, di daerah Bantul Jogjakarta. Cobaan pun kembali kami hadapi karena daerah yang kami tempati sering terkena gempa bumi. Beberapa warga ada yang mengungsi dirumah kami karena kebetulan kerusakannya tak begitu parah. Dari situlah aku menyadari bahwa semua kejadian pasti ada hikmahnya. Aku menjadi punya kesempatan untuk mengamalkan ajaran Islam untuk saling tolong menolong.


Tak hanya sampai disitu saja perjalananku bersama ayah, bunda, dan kedua adikku. Kami sempat pindah rumah lagi karena ternyata masih ada pihak-pihak yang melacak keberadaan kami.


Aku pun ikut dalam beberapa kegiatan keagamaan dan kemasyarakatan. Aku mulai menemukan saudara-saudara baru. Sampai aku bisa melanjutkan jenjang SMA di salah satu Pondok Pesantren di Solo. Setelah itu aku bertekat untuk memperdalam Islam disana, sebagai salah satu guru pendamping bagi para santriwati. Bismillahirrahmanirrahim, walaupun aku seorang muallaf, aku berupaya untuk mempunyai semangat dan mental seorang muslim sejati.



Kisah ini untuk diikutsertakan dalam Lomba Kisah Menggugah Pro-U Media 2010 di http://proumedia.blogspot.com/2010/10/lomba-kisah-pendek-menggugah-pro-u.html

Senin, 21 September 2009

Déjà vu

Hampir semua dari kita pernah mengalami apa yang dinamakan deja vu: sebuah perasaan aneh yang mengatakan bahwa peristiwa baru yang sedang kita rasakan sebenarnya pernah kita alami jauh sebelumnya. Peristiwa ini bisa berupa sebuah tempat baru yang sedang dikunjungi, percakapan yang sedang dilakukan, atau sebuah acara TV yang sedang ditonton. Lebih anehnya lagi, kita juga seringkali tidak mampu untuk dapat benar-benar mengingat kapan dan bagaimana pengalaman sebelumnya itu terjadi secara rinci. Yang kita tahu hanyalah adanya sensasi misterius yang membuat kita tidak merasa asing dengan peristiwa baru itu.


Keanehan fenomena deja vu ini kemudian melahirkan beberapa teori metafisis yang mencoba menjelaskan sebab musababnya. Salah satunya adalah teori yang mengatakan bahwa deja vu sebenarnya berasal dari kejadian serupa yang pernah dialami oleh jiwa kita dalam salah satu kehidupan reinkarnasi sebelumnya di masa lampau. Bagaimana penjelasan ilmu psikologi sendiri?


Terkait dengan Umur dan Penyakit Degeneratif

Pada awalnya, beberapa ilmuwan beranggapan bahwa deja vu terjadi ketika sensasi optik yang diterima oleh sebelah mata sampai ke otak (dan dipersepsikan) lebih dulu daripada sensasi yang sama yang diterima oleh sebelah mata yang lain, sehingga menimbulkan perasaan familiar pada sesuatu yang sebenarnya baru pertama kali dilihat. Teori yang dikenal dengan nama “optical pathway delay” ini dipatahkan ketika pada bulan Desember tahun lalu ditemukan bahwa orang butapun bisa mengalami deja vu melalui indra penciuman, pendengaran, dan perabaannya.


Selain itu, sebelumnya Chris Moulin dari University of Leeds, Inggris, telah menemukan pula penderita deja vu kronis: orang-orang yang sering dapat menjelaskan secara rinci peristiwa-peristiwa yang tidak pernah terjadi. Mereka merasa tidak perlu menonton TV karena merasa telah menonton acara TV tersebut sebelumnya (padahal belum), dan mereka bahkan merasa tidak perlu pergi ke dokter untuk mengobati ‘penyakit’nya karena mereka merasa sudah pergi ke dokter dan dapat menceritakan hal-hal rinci selama kunjungannya! Alih-alih kesalahan persepsi atau delusi, para peneliti mulai melihat sebab musabab deja vu ke dalam otak dan ingatan kita.


Baru-baru ini, sebuah eksperimen pada tikus mungkin dapat memberi pencerahan baru mengenai asal-usul deja vu yang sebenarnya. Susumu Tonegawa, seorang neuroscientist MIT, membiakkan sejumlah tikus yang tidak memiliki dentate gyrus, sebuah bagian kecil dari hippocampus, yang berfungsi normal. Bagian ini sebelumnya diketahui terkait dengan ingatan episodik, yaitu ingatan mengenai pengalaman pribadi kita. Ketika menjumpai sebuah situasi, dentate gyrus akan mencatat tanda-tanda visual, audio, bau, waktu, dan tanda-tanda lainnya dari panca indra untuk dicocokkan dengan ingatan episodik kita. Jika tidak ada yang cocok, situasi ini akan ‘didaftarkan’ sebagai pengalaman baru dan dicatat untuk pembandingan di masa depan.


Menurut Tonegawa, tikus normal mempunyai kemampuan yang sama seperti manusia dalam mencocokkan persamaan dan perbedaan antara beberapa situasi. Namun, seperti yang telah diduga, tikus-tikus yang dentate gyrus-nya tidak berfungsi normal kemudian mengalami kesulitan dalam membedakan dua situasi yang serupa tapi tak sama. Hal ini, tambahnya, dapat menjelaskan mengapa pengalaman akan deja vu meningkat seiring bertambahnya usia atau munculnya penyakit-penyakit degeneratif seperti Alzheimer: kehilangan atau rusaknya sel-sel pada dentate gyrus akibat kedua hal tersebut membuat kita sulit menentukan apakah sesuatu ‘baru’ atau ‘lama’.


Menciptakan ‘Deja Vu’ dalam Laboratorium

Salah satu hal yang menyulitkan para peneliti dalam mengungkap misteri deja vu adalah kemunculan alamiahnya yang spontan dan tidak dapat diperkirakan. Seorang peneliti tidak dapat begitu saja meminta partisipan untuk datang dan ‘menyuruh’ mereka mengalami deja vu dalam kondisi lab yang steril. Deja vu pada umumnya terjadi dalam kehidupan sehari-hari, di mana tidak mungkin bagi peneliti untuk terus-menerus menghubungkan partisipan dengan alat pemindai otak yang besar dan berat. Selain itu, jarangnya deja vu terjadi membuat mengikuti partisipan kemana-mana setiap saat bukanlah hal yang efisien dan efektif untuk dilakukan. Namun beberapa peneliti telah berhasil mensimulasikan keadaan yang mirip deja vu.


Seperti yang dilaporkan LiveScience, Kenneth Peller dari Northwestern University menemukan cara yang sederhana untuk membuat seseorang memiliki ‘ingatan palsu’. Para partisipan diperlihatkan sebuah gambar, namun mereka diminta untuk membayangkan sebuah gambar yang lain sama sekali dalam benak mereka. Setelah dilakukan beberapa kali, para partisipan ini kemudian diminta untuk memilih apakah suatu gambar tertentu benar-benar mereka lihat atau hanya dibayangkan. Ternyata gambar-gambar yang hanya dibayangkan partisipan seringkali diklaim benar-benar mereka lihat. Karena itu, deja vu mungkin terjadi ketika secara kebetulan sebuah peristiwa yang dialami seseorang serupa atau mirip dengan gambaran yang pernah dibayangkan.


LiveScience juga melaporkan percobaan Akira O’Connor dan Chris Moulin dari University of Leeds dalam menciptakan sensasi deja vu melalui hipnosis. Para partisipan pertama-tama diminta untuk mengingat sederetan daftar kata-kata. Kemudian mereka dihipnotis agar mereka ‘melupakan’ kata-kata tersebut. Ketika para partisipan ini ditunjukkan daftar kata-kata yang sama, setengah dari mereka melaporkan adanya sensasi yang serupa seperti dejavu, sementara separuhnya lagi sangat yakin bahwa yang mereka alami adalah benar-benar deja vu. Menurut mereka hal ini terjadi karena area otak yang terkait dengan familiaritas diganggu kerjanya oleh hipnosis.

Déjà vu

Déjà vu adalah kondisi dimana seseorang pernah melihat atau mengalami suatu peristiwa yang sedang berlangsung, padahal ia tak pernah mengalami sebelumnya di alam nyata. Kata déjà vu berasal dari bahasa Perancis yang bermakna ‘pernah melihat’.

Hal yang demikian bukan saja dialami oleh satu, dua orang tetapi dialami oleh banyak orang, bahkan hampir setiap kita pernah merasakan. Dalam penelitian, itu benar-benar terjadi di ‘masa lalu’ imajiner kita. Kemudian terjadi pada masa kini sebagai realitas.

Awalnya, kejadian seperti ini memang dianggap sebagai angan-angan kosong belaka. Akan tetapi menurut berbagai penelitian psikologi, sangat banyak orang yang pernah mengalaminya sekitar 70% penduduk bumi – hingga disimpulkan sebagai realitas psikologis. Hanya saja tidak banyak yang bisa menjelaskan realitas ini secara memuaskan, sehingga tetap menjadi rahasia dan teka-teki ilmu pengetahuan.

Déjà vu kadang-kadang terjadi pada diri kita dengan melibatkan orang lain sebagai penontonnya. Pernah ada cerita seseorang yang menunaikan ibadah haji ke Makkah dengan isterinya. Yang aneh waktu di Mekkah dia melihat sahabatnya dan isterinya menunaikan ibadah haji juga, padahal ia tahu kawannya itu tidak berangkat. Ia menganggap mungkin salah lihat saja, tetapi bukan saja dia yang melihat melainkan isterinya juga melihat sahabatnya dan isterinya menunaikan ibadah haji. Itupun disaksikan oleh ia sebanyak dua kali dan bukan sekali saja. Saat ia berusaha mendekati kawannya, ia kehilangan jejak karena jamaah penuh sesak. Yang aneh adalah tahun berikutnya saudaranya yang ia lihat menunaikan ibadah haji tersebut benar-benar berangkat ke Makkah.


Ada beberapa teori yang mencoba menjelaskan secara ilmiah terhadap fenomena déjà vu itu..

Pertama, menganggap déjà vu memang peristiwa yang sudah pernah dialami dan dilihat sebelumnya. Dalam realitas maupun dalam mimpi. Ini sesuai dengan makna déjà vu yang bermakna ‘pernah melihat’.
Maka para psikologi melakukan eksperimen dengan memanfaatkan jasa hipnotis. Beberapa sukarelawan diminta untuk melihat benda tertentu dan mengingatnya. Setelah itu mereka dihipnotis sehingga lupa terhadap benda itu. Ketika benda itu ditunjukkan kepada mereka lagi, mereka merasakan pernah melihat, tetapi lupa entah dimana dan kapan.
Teori ini dibantah oleh sejumlah pakar, termasuk orang-orang yang mengalami sendiri peristiwa déjà vu.

Kedua, penundaan penglihatan. Dikatakan bahwa sebelum mata melihat kejadian tersebut, sebenarnya realitas itu sudah sampai ke otak terlebih dahulu beberapa menit sebelumnya. Ini dikarenakan otak ‘berkomunikasi’ dengan dunia luar secara transceiver, seperti pemancar radio dengan antena penerimanya.
Teori inipun dibantah, karena dalam penelitian yang dilakukan oleh Akira O’Connor bersama timnya dari Universitas of Leeds, Inggris dibuktikan bahwa orang butapun bisa mengalami déjà vu berupa sensasi peraba, penciuman dan pendengaran. Artinya déjà vu benar-benar realitas dan bukan tipuan optik melainkan bisa diraba, dicium aromanya dan di dengar suaranya.

Ketiga, dikemukakan oleh kalangan Budha. Menurut mereka, déjà vu menjadi pembenar adanya reinkarnasi. Bahwa penglihatan kita sekarang adalah sebenarnya kejadian dari kehidupan masa lalu yang datang kembali ke masa sekarang. Sangat disayangkan pendapat ini sulit dibuktikan kebenarannya, kecuali mesti diyakini oleh pemeluknya.

Keempat, déjà vu sebenarnya adalah peristiwa yang memang benar-benar terjadi dalam dunia paralel. Karena semua peristiwa itu sebenarnya sudah ada dan tersimpan di Lauh Mahfuzh yaitu kitab induk alam semesta.

QS. Al-An’aam (6) : 59.

“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir bijipun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)”.

QS. An-Naml (27) : 75

“Tiada sesuatupun yang ghaib di langit dan di bumi, melainkan (terdapat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).”

Wallahu’alam.

Sabtu, 29 Agustus 2009

NEW DIVIDE (Linkin Park)

I remembered black skies, the lightning all around me

I remembered each flash as time began to blur
Like a startling sign that fate had finally found me
And your voice was all I heard that I get what I deserve

So give me reason to prove me wrong, to wash this memory clean
Let the floods cross the distance in your eyes
Give me reason to fill this hole, connect the space between
Let it be enough to reach the truth that lies across this new divide

There was nothing in sight but memories left abandoned
There was nowhere to hide, the ashes fell like snow
And the ground caved in between where we were standing
And your voice was all I heard that I get what I deserve

So give me reason to prove me wrong, to wash this memory clean
Let the floods cross the distance in your eyes across this new divide

In every loss, in every lie, in every truth that you'd deny
And each regret and each goodbye was a mistake too great to hide
And your voice was all I heard that I get what I deserve

So give me reason to prove me wrong, to wash this memory clean
Let the floods cross the distance in your eyes
Give me reason to fill this hole, connect the space between
Let it be enough to reach the truth that lies across this new divide
Across this new divide, across this new divide

;;

Template by:
Free Blog Templates